LAMPUNG |
RagamRahawaliNusantara.id .
Polemik terkait dugaan pelanggaran di sejumlah SPBU di Kabupaten Lampung Timur yang menolak pembayaran tunai pembelian BBM bersubsidi kembali menuai sorotan dari kalangan praktisi hukum dan pemerhati perlindungan konsumen.
Advokat sekaligus Ketua Umum Asosiasi Perlindungan Konsumen Indonesia , Ujang Kosasih, S.H., menilai bahwa tindakan SPBU yang menolak pembayaran tunai dengan alasan penggunaan aplikasi MyPertamina merupakan pelanggaran terhadap konstitusi dan undang-undang.
Menurut Ujang, Pasal 23B Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa Rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia. Karena itu, tidak ada alasan bagi pelaku usaha untuk menolak Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah.
“Hal tersebut juga diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Jadi, SPBU atau pelaku usaha mana pun tidak boleh menolak masyarakat yang melakukan transaksi dengan uang tunai Rupiah. Sikap seperti itu jelas melanggar hukum,” tegas Ujang,Minggu (5/10/2025).
Lebih lanjut, Ujang menilai bahwa penerapan sistem digitalisasi pembelian BBM melalui aplikasi MyPertamina sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 117 Tahun 2021 sangat tidak relevan dan bahkan bertentangan dengan semangat konstitusi.
“Peraturan tersebut justru menyulitkan masyarakat, terutama kalangan konsumen kecil di daerah yang belum memiliki akses terhadap perangkat digital. Karena itu, Asosiasi Perlindungan Konsumen Indonesia berencana mengajukan gugatan class action terhadap Pertamina dan pemerintah, sebagai bentuk pembelaan atas hak-hak konsumen,” tandasnya.
Sementara itu, Wahyu Widiyatmiko, S.H., M.H., C.P.M., Sekretaris Jenderal DPP LBH-KIS sekaligus Ketua DPD HIPAKAD Provinsi Lampung, menilai bahwa persoalan tersebut mencerminkan lemahnya koordinasi dan sosialisasi kebijakan antara pihak Pertamina dan masyarakat.
Menurut Wahyu, setiap kebijakan baru, apalagi yang menyangkut kebutuhan pokok publik seperti BBM bersubsidi, harus disosialisasikan terlebih dahulu sebelum diterapkan di lapangan.
“Pertamina wajib melakukan sosialisasi yang benar kepada masyarakat sebelum menerapkan aturan. Jangan sampai kebijakan langsung diberlakukan tanpa pemahaman publik yang memadai,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa Pertamina tidak bisa serta merta menerapkan sistem digitalisasi tanpa memperhatikan kesiapan masyarakat di setiap daerah.
“Pertamina harus melihat kondisi wilayah. Apakah seluruh konsumen di daerah tersebut sudah memiliki gadget atau ponsel android? Kalau belum, maka kebijakan itu sangat merugikan masyarakat,” imbuhnya.
Lebih jauh, Wahyu menilai bahwa pelaksana di lapangan yang membuat aturan tambahan tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan bahkan berpotensi menjadi perbuatan melawan hukum (PMH).
“Konsumen tidak boleh dijadikan korban dari kebijakan yang belum siap. Sosialisasi dan pemerataan fasilitas harus menjadi langkah awal sebelum aturan diberlakukan,” Tutupnya