RagamRajawaliNusantara.id –
Lampung Timur – Keluhan warga Dusun IX Cirebon Baru Utara, RT 028 RW 015, Kelurahan Muara Gading Mas, Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur, terus bergema. Pasalnya, keberadaan pabrik es milik KUD Bina Mina yang telah beroperasi bertahun-tahun dinilai mengganggu ketenangan dan merusak lingkungan sekitar.
Warga mengaku telah bertahan selama hampir lima tahun dengan suara bising dari mesin pabrik yang beroperasi 24 jam non-stop. Salah satu warga yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan rasa kecewanya kepada awak media.
“Rumah saya paling dekat dengan pabrik, hanya beberapa meter saja. Suaranya sangat bising, tidak pernah berhenti siang malam. Kami tidak pernah menerima kompensasi, bahkan sekadar perhatian pun tidak ada,” ujarnya geram.
Tak hanya soal kebisingan, limbah pabrik juga menjadi momok baru. Menurut warga, saat mesin pabrik mengalami kerusakan, gas amoniak kerap dilepas ke udara dan mencemari saluran irigasi yang kemudian meluap ke tambak warga.
“Kalau gas itu keluar, mata perih, sesak napas. Tambak saya pernah gagal panen gara-gara limbah itu. Air irigasi berubah seperti berminyak, dan semua udang mati,” tambah warga lainnya yang juga petambak.
Di sisi lain, persoalan tenaga kerja juga mencuat. Seorang mantan karyawan pabrik yang mengaku diberhentikan secara sepihak menyebut dirinya dipecat tanpa surat resmi atau peringatan.
“Saya diberhentikan begitu saja, tanpa alasan yang jelas. Saat saya tanya, katanya saya tidak maksimal kerja. Tapi tidak pernah dijelaskan apa ukuran maksimal itu,” keluhnya.
Pihak pabrik, saat dikonfirmasi, tidak memberikan keterangan memadai. Awak media hanya menemui operator dan staf biasa yang mengaku tidak memiliki wewenang untuk memberikan pernyataan.
Namun, Edi Susilo, salah satu penasehat KUD Bina Mina sekaligus mantan anggota DPRD Lampung Timur, akhirnya memberikan klarifikasi. Ia mengakui bahwa pabrik menggunakan dua mesin, salah satunya kompresor yang memang aktif 24 jam. Terkait suara bising, ia mengklaim hal itu sudah lama berlangsung dan tidak menjadi masalah.
“Amoniak itu ke udara, tidak ke tanah. Kami juga sudah buatkan bak penampungan dan sudah diuji coba dengan ikan lele—hasilnya hidup,” kata Edi.
Ia juga mengaku setiap tahun memberikan THR kepada warga sekitar, meskipun beberapa warga menyebut bantuan tersebut tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan.
Ironisnya, Edi mengaku tidak mengetahui adanya pemecatan karyawan secara sepihak sampai diberi tahu langsung oleh awak media, dan baru kemudian menghubungi pengurus untuk mencari kejelasan.
Desakan kepada Pemerintah
Melihat kondisi ini, warga berharap agar pihak pemerintah, terutama Dinas Lingkungan Hidup dan instansi terkait, segera turun tangan menindaklanjuti permasalahan yang sudah lama mereka derita.
“Kami butuh tindakan nyata, bukan janji-janji. Tolong pemerintah dengar suara kami. Jangan tunggu sampai ada korban baru bertindak,” tegas salah satu warga.
Dugaan pelanggaran terhadap kenyamanan lingkungan, kesehatan masyarakat, serta ketenagakerjaan tidak bisa diabaikan. Aparat pemerintah wajib melakukan investigasi mendalam dan menegakkan aturan secara tegas jika ditemukan pelanggaran.
Polemik ini tak boleh dibiarkan berlarut. Suara warga adalah suara kebenaran yang menuntut keadilan.